FALSAFAH KEPEMIMPINAN BANGSA DALAM PARIBASAN JAWA
Oleh: MI MA’ARIF
KARANGTENGAH
Abstrak: Paribasan merupakan salah satu wujud kebudayaan masyarakat
Jawa. Ia tidak hanya mampu memberikan gambaran tentang jati diri masyarakat
Jawa, tentang simbol-simbol sosial yang mereka anut dalam beraktifitas, tapi
juga tentang pegangan hidup mereka yang berwujud falsafah-falsafah kebatinan.
Salah satunya adalah falsafah kepemimpinan. Sayangnya, faktor keterbatasan
pemahaman masyarakat Jawa terhadap paribasan, menjadikan hasil budaya ini
menjadi kurang bermakna. Ia seringkali ditempatkan hanya sebagai pernak-pernik
budaya yang tidak memiliki peran signifikan dalam membangun masyarakat utamanya
dalam kehidupan berpolitik. Akibatnya, ketika masyarakat Jawa mendapatkan
kesempatan untuk memimpin, banyak diantara mereka menjadi salah arah dan
akhirnya tersesat. Jika masyarakat Jawa yang diberi amanah untuk memimpin,
kembali menengok akar budaya mereka salah satunya dengan berusaha meresapi
makna-makna dibalik aksioma paribasan, niscaya, perilaku mereka akan
terjaga dan krisis kepemimpinan yang terjadi pada bangsa ini akan berakhir.
Kita tidak akan lagi mendapatkan pemimpin yang pinter nanging keblinger atau
pemimpin yang lali marang asale di masa yang akan datang.
Kata-kata Kunci: paribasan, aksioma, kepemimpinan, falsafah, Jawa,
budaya
A. Pendahuluan
Pulau Jawa dikenal sebagai pulau yang makmur. Tanahnya
yang gembur, landscapenya yang datar, penduduknya yang mayoritas
terpelajar, serta seni budayanya yang tinggi menjadikan pulau jawa menjadi
terkenal di hampir seluruh penjuru dunia.
Sejarah politik dan ekonomi pulau Jawa juga sangat
cemerlang. Sejak dahulu kala, pulau Jawa menjadi pusat diplomasi internasional
bagi banyak penduduk nusantara maupun penduduk dunia. Orang-orang Eropa,
Afrika, India, Amerika, Asia Timur dan kaum-kaum manca lainnya seringkali
melakukan perjalanan ke Pulau Jawa untuk melakukan berbagai macam kegiatan
niaga, politik, dan diplomasi pemerintahan.
Jawa tidak hanya dikenal karena potensi pulaunya saja
yang luar biasa. Masyarakat yang tinggal di pulau tersebutpun (atau yang kita
kenal sebagai orang Jawa) juga sangat tersohor. Setelah rakyat Nusantara
memproklamirkan kemerdekaannya dan berjanji untuk bersatu dalam naungan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, masyarakat Jawa sebagai bagian dari masyarakat
Nusantara selalu tampil terdepan dalam kepemimpinan nasional. Banyaknya
pemimpin nasional dari suku Jawa inilah menjadikan suku Jawa terkenal. Ciri
kepemimpinan nasionalpun banyak mendapat pengaruh oleh gaya kepemimpinan
masyarakat Jawa (Purwadi, 2009).
Budaya Jawa yang dibawa pemimpin-pemimpin Jawa memberi
pengaruh yang kuat pada karakter hidup bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Kita ambil contoh “Bhinneka Tunggal Ika,” kata-kata Mutiara yang
dirangkai oleh Mpu Jawa yaitu Tantular, menjadi slogan nasional bangsa
Indonesia. Beberapa slogan Jawa lainnya seperti ”jer basuki mawa beya,”
“rawe-rawe rantas, malang-malang putung” dan ”Tut Wuri Handayani”
(Hartatik et al, 2001) dikenal secara luas oleh bangsa Indonesia dan digunakan
secara umum dalam dunia sosial maupun pendidikan.
B. Pembahasan
a. Beberapa Konsep Kepemimpinan Jawa
Sebagai etnik terbesar, Jawa memiliki konsep-konsep
(selanjutnya akan disebut sebagai falsafah). Falsafah-falsafah tersebut
tersebar dalam berbagai dimensi kehidupan seperti etika dan tata karma
pergaulan, hubungan orang tua dan anak, hukum, keadilan dan kebenaran, ilmu
pengetahuan dan pendidikan, hubungan sosial, kekerabatan dan gotong royong,
kepercayaan dan religiositas, kewaspadaan dan introspeksi dan masih banyak
lagi. (Santoso, 2010). Diantara falsafah-falsafah tersebut, falsafah
kepemimpinan adalah falsafah yang paling menonjol dan dikenal luas oleh
masyarakat Nusantara. Ini tidak mengherankan mengingat masyarakat Jawa gemar
memimpin dan ketika orang Jawa memimpin, mereka seringkali menyatakan
menggunakan falsafah Jawa (entah benar atau salah) sebagai pedoman kepemimpinan
mereka.
Terlepas apakah mereka benar-benar menggunakan
falsafah tersebut dalam kepemimpinan mereka atau tidak, budaya Jawa memiliki
banyak sekali falsafah tentang bagaimana menjadi seorang pemimpin yang baik.
Beberapa diantaranya adalah falsafah kepemimpinan astabratha, falsafah
kepemimpinan tribrata, falsafah kepemimpinan Gajah Mada, falsafah
kepemimpinan Sultan Agung yang diungkapkan lewat Serat Sastra Gendhing.
Empat falsafah di atas dijadikan sebagai jalan hidup yang dipegang
teguh. Falsafah-falsafah tersebut mencerminkan spiritualitas Jawa yang
inspiratif dan berpengaruh besar pada pandangan hidup masyarakat Jawa secara
umum.
Falsafah Astabratha adalah falsafah yang
menganggap pemimpin harus memiliki watak adil merata tanpa pilih kasih (Ki
Kasidi Hadiprayitno dalam Kompas, Sabtu, 16 Agustus 2008). Secara rinci konsep
ini terurai dalam delapan (asta) watak: bumi, api, air, angin, angkasa,
matahari, bulan, dan bintang atau dalam bahasa Jawa disebut bumi, geni,
banyu, bayu, langit, surya, candra, dan kartika.
Falsafah Tri Bata memiliki tiga prinsip yaitu (1) rumongso
melu handarbeni (merasa ikut memiliki), (2) wajib melu hangrungkebi
(wajib ikut membela dengan ikhlas), dan (3) mulat sariro hangrasa wani
(mawas diri dan memiliki sifat berani untuk kebenaran). Falsafah ini masih
relevan diaplikasi di masa kini (Tedjowulan dalam http://www.bijak.web.id).
Falsafah kepemimpinan dari Gadjah Mada secara garis
besar memuat tiga dimensi, yaitu (1) Spiritual, (2) Moral, dan (3) Manajerial.
Dimensi Spiritual terdiri dari tiga prinsip, yaitu: wijaya yang
berupa sikap tenang, sabar, bijaksana; masihi samasta bhuwana yang
berwujud mencintai alam semesta; dan prasaja yang berbentuk sikap
hidup sederhana. Dimensi Moral terdiri dari enam prinsip, yaitu: mantriwira
yang berwujud berani membela dan menegakkan kebenaran dan keadilan; sarjawa
upasama yang berupa sikap rendah hati; tan satrisna yang
berbentuk sifat tidak pilih kasih; sumantri yang berwujud sikap
tegas, jujur, bersih, berwibawa; sih samasta bhuwana yang berbentuk
kondisi dicintai segenap lapisan masyarakat dan mencintai rakyat; nagara
gineng pratijna yaitu mengutamakan kepentingan negara di atas
kepentingan pribadi, golongan, dan keluarga. Dimensi Manajerial terdiri
dari sembilan prinsip, yaitu: natangguan yaitu mendapat dan
menjaga kepercayaan dari masyarakat; satya bhakti prabhu yaitu
loyal dan setia kepada nusa dan bangsa; wagmiwag yaitu pandai
bicara dengan sopan; wicaksaneng naya yaitu pandai diplomasi,
strategi, dan siasat; dhirotsaha yaitu sikap rajin dan
tekun bekerja dan mengabdi untuk kepentingan umum; dibyacitta yaitu
lapang dada dan bersedia menerima pendapat orang lain; nayaken musuh
dengan sikap menguasai musuh dari dalam dan dari luar; ambek
paramartha yaitu pandai menentukan prioritas yang penting, serta waspada
purwartha yaitu sikap selalu waspada dan introspeksi untuk melakukan
perbaikan (http://sumedangonline.com).
Falsafah keempat adalah falsafah kepemimpinan Sultan
Agung, yang diungkapkan lewat Serat Sastra Gendhing. Falsafah ini memuat
tujuh amanah. Amanah pertama, swadana maharjeng tursita, menyebutkan
bahwa seorang pemimpin haruslah memiliki sosok intelektual, berilmu, jujur, dan
pandai menjaga nama, mampu menjalin komunikasi atas dasar prinsip
kemandirian. Kedua, bahni bahna amurbeng jurit, menyebutkan bahwa
seorang pemimpin harus selalu berada di depan dengan memberikan keteladanan
dalam membela keadilan dan kebenaran. Ketiga, rukti setya garba rukmi,
menggarisbawahi bahwa seorang pemimpin harus memiliki tekad bulat menghimpun
segala daya dan potensi guna kemakmuran dan ketinggian martabat bangsa.
Keempat, sripandayasih krani, yaitu pemimpin harus memiliki tekad
menjaga sumber-sumber kesucian agama dan kebudayaan, agar berdaya manfaat bagi
masyarakat luas. Kelima, gaugana hasta, yaitu seorang pemimpin harus
mengembangkan seni sastra, seni suara, dan seni tari guna mengisi peradapan
bangsa. Keenam, stiranggana cita, yaitu seorang pemimpin harus memiliki
keinginan kuat untuk melestarikan dan mengembangkan budaya, mengembangkan ilmu
pengetahuan, dan membawa obor kebahagiaan umat manusia. Ketujuh smara bhumi
adi manggala, yaitu seorang pemimpin harus menjadi pelopor pemersatu dari
berbagai kepentingan yang berbeda-beda dari waktu ke waktu, serta berperan
dalam perdamaian di dunia (http://mbayuisa.blogspot.com).
Selain empat falsafah kepemimpinan di atas, terdapat
falsafah kepemimpinan lain yang juga cukup menonjol. Falsafah ini adalah
falsafah kelima yang muncul dari tradisi masyarakat, digunakan oleh masyarakat
dan berlaku juga untuk masyarakat dalam bentuk unen-unen kang ajeg
panganggone, mawa teges entar, ora ngemu surasa pepindhan (Ungkapan yang
tetap pemakaiannya, dengan arti kias, tidak mengandung makna perumpamaan) (Padmosoekotjo
dalam Sumarlam, 2006). Falsafah ini muncul dalam bentuk paribasan Jawa.
Meskipun muncul dari tradisi, namun kebenaran
paribasan tidak diragukan lagi. Karena muncul dari tradisi masyarakat dan
kebenarannya banyak yang membuktikan, maka dalam artikel ini digunakan istilah
”falsafah kepemimpinan aksiomal.” untuk merujuk pada paribasan. Falsafah kelima
inilah yang akan didiskusikan pada bagian selanjutnya artikel ini.
b. Falsafah Kepemimpinan dalam Paribasan Jawa
Jawa adalah salah satu etnik yang memiliki kearifan
lokal dalam kepemimpinan. Kepemimpinan dalam masyarakat Jawa mendapat perhatian
yang tinggi karena terkait erat dengan nilai-nilai ideal yang
berorientasi pada dunia supranatural. Ini dapat dilihat dari adanya
pandangan-pandangan tradisional yang menganggap raja sebagai pemimpin sekaligus
”wakil/titisan” dewa. Sebagai seorang pemimpin dan wakil tuhan, tugas seorang
pemimpin adalah menciptakan kehidupan yang harmonis antara manusia, alam, dan
Tuhan (http://joyosenggol.blogspot.com).
Meskipun nilai-nilai kepemimpinan ada di setiap budaya
suku bangsa, tetapi nilai-nilai kepemimpinan Jawa memiliki kelebihan jika
dibandingkan dengan nilai-nilai yang ada pada suku bangsa lain yaitu
nilai-nilai kepemimpinan tersebut diajarkan dan dipegang teguh di semua lapisan
mayarakat, mulai dari tua, muda, laki-laki, perempuan, bangsawan dan
rakyat jelata. Ajaran kepemimpinan ini terlihat jelas dalam berbagai bentuk
ungkapan paribasan yang muncul dalam banyak interaksi sosial.
Di bawah ini terdapat beberapa paribasan Jawa yang
menunjuk sikap positif seorang pemimpin. Paribasan tersebut dipaparkan di sini
untuk menunjukkan betapa tingginya perhatian budaya Jawa terhadap kepemimpinan.
Sebenarnya masih ada banyak paribasan yang menunjukkan sikap kepemimpinan yang
baik, Namun karena terbatasnya waktu penulis serta halaman artikel ini, hanya
15 paribasan saja yang dipaparkan di sini.
a) Menghormati dan Menjaga Aib Pimpinan
”He that cannot obey cannot command” (orang yang mau mematuhi perintah
atasan adalah orang yang akan sanggup untuk memimpin dengan kelak). Peribahasa
bahasa Inggris ini mengajarkan pada kita bagaimana seorang bawahan seharusnya
bersikap pada atasan. Falsafah dengan makna sejenis di atas juga ada dalam
ajaran Jawa. Meskipun bunyinya tak sama, paribasan ”kena cepet ning aja
ndhisiki, kena pinter ning aja ngguroni, kena takon ning aja ngrusuhi”
turut mengajarkan bagaimana seorang Jawa bersikap pada atasannya.
Paribasan tersebut mengajarkan bahwa bawahan harus
dapat bekerjasama dengan atasan dan tidak boleh ”sok” apalagi mempermalukan
atasan. Bawahan dapat saja cepat dan cekatan, tapi jangan mendahului pimpinan,
bawahan dapat saja pintar, tapi jangan lantas menggurui pimpinan, boleh dapat
saja bertanya tapi jangan sampai pertanyaannya tersebut kemudian menyudutkan
pimpinan. Simpulannya, bawahan diharapkan untuk tidak bersikap dan bertindak
yang dapat mempermalukan pimpinan, walau ia lebih mampu dari pimpinannya.
Falsafah ini tidak dimaksudkan untuk menghambat karir seseorang dalam bekerja,
tapi malah sebaliknya, akan melatih seorang calon pemimpin untuk belajar
mendengarkan orang lain sebelum pada akhirnya ia memegang kekuasaan dan
didengarkan oleh orang lain. Inilah kode etik atau norma yang harus di pahami
oleh tiap anak buah atau seorang warga negara, demi menjaga citra pimpinan
(presiden, gubernur, menteri, direktur) dan citra lembaga yang dipimpinnya.
Sayangnya, falsafah ”menghormati pimpinan” yang ada
dalam paribasan ini sudah banyak dilupakan oleh masyarakat Jawa. Ini dapat
dilihat dari banyaknya pemimpin (dari suku Jawa) dipermalukan, bahkan
dimakzulkan oleh anak buahnya (yang juga dari suku Jawa), hanya karena pemimpin
tersebut beda kepentingan, beda partai, dan beda idiologi. Padahal pemimpin
yang dimakzulkan tersebut hanya berbuat beberapa kesalahan kecil dan belum
berbuat banyak untuk melaksanakan amanah yang diembannya.
Selain falsafah ”kena cepet ning aja ndhisiki, kena
pinter ning aja ngguroni, kena takon ning aja ngrusuhi,” terdapat paribasan
lain yang mengajarkan bagaimana seorang bawahan bersikap pada atasan. Paribasan
Jawa yang berbunyi “mikul dhuwur mendem jero” adalah salah satu falsafah
hidup Jawa yang bersifat umum namun dapat ditarik ke dalam ranah
kepemimpinan. Paribasan ini mengajarkan seseorang untuk bisa mengangkat derajat
dan martabat pimpinannya, entah itu pimpinan keluarga, masyarakat, tempat kerja
ataupun lebih luas lagi. Bawahan harus dapat menutupi aib pimpinan tersebut,
serta tidak membuka dan mengekpos aib tersebut kepada khalayak umum karena pada
dasarnya, aib pimpinan adalah aibnya sendiri. Dengan membuka aib orang untuk
tujuan jahat, akan mengundang karma, karena kelak, aibnya sendiri akan dibuka
oleh orang lain (Santoso, 2010).
Dalam konteks masa kini, buka membuka aib pimpinan
baik yang berasal dari Jawa maupun nonJawa sangat jamak dijumpai, entah dalam
rangka untuk merebut posisi pimpinan tersebut, menghancurkan usaha yang
dilakukannya, atau dengan tujuan politis. Bawahan, demikian mudah mengekspos
aib pimpinan pada media dan karenanya situasi masyarakat seringkali menjadi
tidak tenang.
b) Menempatkan Diri
Dalam masyarakat Jawa, terdapat falsafah kepemimpinan
yang menjelaskan salah satu sifat baik dari seorang pemimpin yaitu pandai
menempatkan diri. Falsafah ini berbunyi ”ajining diri saka pucuke lathi,
ajining raga saka busana,” yang artinya, harga diri seseorang tergantung
dari ucapannya dan kemampuan menempatkan diri sesuai dengan busananya
(situasinya) (Subroto&Tofani, –.). Seseorang pemimpin, harus dapat
menempatkan ucapan dan kepandaiannya, karena hal ini akan dapat mendatangkan
penghargaan bagi dirinya. Seseorang pemimpin yang baik juga tidak berusaha
mengintervensi dan memasuki dunia yang bukan dunianya. Sikap seperti ini dapat
dikatakan sebagai sikap profesional.
Sayangnya, sikap ini agak jarang kita jumpai saat ini.
Dalam bidang politik misalnya, sangat banyak orang Jawa yang memiliki posisi
penting di pemerintahan atau parlemen seringkali mengeluarkan pernyataan
tentang satu hal yang sebenarnya hal tersebut tidak ia ketahui secara jelas.
Banyak orang Jawa muncul di TV dan mengeluarkan pernyataan yang dapat
menimbulkan kebingungan bahkan kepanikan dalam masyarakat. Banyak pula orang
Jawa yang sebenarnya tidak memiliki kompetensi apa-apa dalam sebuah bidang
seperti dunia politik, namun karena ia mempunyai kekayaan, nekat menerjunkan
diri dalam dunia tersebut. Dalam bidang hukumpun, banyak orang-orang Jawa yang
tidak memiliki latar belakang hukum, seringkali mengintervensi peradilan dan
karenanya kasus-kasus yang seharusnya selesai dengan cepat menjadi
berbelit-belit.
c) Bersikap Tenang dalam Menghadapi Masalah
Filsafat kepemimpinan Jawa juga mengajarkan agar
pemimpin bersifat tenang dan berwibawa, tidak terlalu terheran-heran pada suatu
hal, tidak menunjukan sikap kaget jika ada hal-hal di luar dugaan, dan tidak
boleh sombong (Santoso, 2010). Itulah arti dari paribasan aja gumunan, aja
kagetan lan aja dumeh.
Sayangnya falsafah ini juga telah mulai ditinggalkan
masyarakat Jawa. Ini dapat dilihat dari banyaknya pemimpin Jawa yang terlalu
responsif dalam menyikapi suatu permasalahan, mudah emosi dan gemar melakukan
perang lewat media hanya untuk merespon sesuatu yang sebenarnya jika didiamkan
tidak membawa masalah apa-apa untuk dirinya, terlalu kagum dan terheran-heran
dengan kemajuan bangsa lain dan dengan membabi-buta mengidolakan bangsa
tersebut, namun di lain pihak, ketika diberi masukan akan menolak masukan itu
karena kecongkakannya dan ketinggian hatinya.
d) Menjadi Teladan yang Baik
Terdapat sebuah paribasan yang mengajarkan hal ini
yaitu paribasan ”kacang mangsa ninggala lanjaran”. Paribasan Jawa ini
hampir serupa dengan peribahasa Indonesia yang berbunyi “buah jatuh tidak jauh
dari pohonnya”. Paribasan ini menggambarkan bentuk hubungan darah antara anak
dengan orang tuanya. Hubungan tersebut berbentuk adanya kesamaan sikap, sifat
dan bentuk fisik.
Dalam konteks masyarakat berbangsa dan bernegara,
pohon yang dimaksud adalah para pemimpin masyarakat dan buah yang jatuh adalah
masyarat yang dipimpinnya. Kita meletakkan hubungan masyarat dengan para
pemimpin seperti pola hubungan anak dengan orangtuanya. Jika para pemimpin
jujur maka masyarat yang dipimpinnyapun ikut jujur. Jika para pemimpin bekerja
keras memajukan bangsa, maka masyaratpun akan bekerja lebih keras untuk
memajukan hidup mereka. Jika masyarat berbicara santun, itu semua karena
masyarat dipimpin oleh pemimpin yang berlisan santun. Begitu seterusnya.
Dalam kenyataannya, pohon yang baik sangat jarang kita
jumpai. Pohon yang buruk akhir-akhir ini telah banyak dikenali. Terbukti dari
banyaknya pemimpin yang diungkap KPK dan aparat hukum lainnya, terlibat kasus
tindak pidana penyalahgunaan kekuasaan baik itu dalam bentuk KKN atau kejahatan
lainnya. Adalah wajar jika kemudian banyak masyarakat mencontoh pimpinan mereka
untuk berbuat buruk sehingga hampir mustahil bagi kita di jaman ini untuk tidak
menjumpai sebuah berita kejahatan di media massa setiap harinya.
Seorang pemimpin harus juga bersikap ”ing ngarso
sung tulodho”, yaitu selain mampu membina, membimbing dan mengarahkan bawahannya,
juga harus dapat memberi suri tauladan lewat sikap dan perbuatannya. Seorang
pemimpin juga harus dapat ”ing madyo mangun karsa”, yaitu berada di
tengah-tengah bawahannya dengan penuh gairah, memberi mereka semangat dan
motivasi untuk berkerja lebih baik. Seorang pemimpin harus juga ”tut wuri
handayani”, yaitu memberi pengaruh dan dorongan dari belakang kepada yang
bawahannya, agar bawahan tersebut berani tampil dan maju dengan penuh
tanggungjawab. Namun sayangnya, banyak diantara pemimpin Jawa, kurang mampu
untuk mewujudkan sikap kepemimpinan tersebut.
e) Memiliki Sikap Dewasa dan Legawa
Sikap ini tersurat dalam paribasan ”addamara
tanggal pisan kapurnaman.” Paribasan ini menggambarkan dua orang yang
bertikai kemudian salah satu pihak mengadukan pihak yang lain ke pengadilan,
namun selang beberapa waktu kemudian, perkara ini dibatalkan karena pihak
pengadu memperoleh kesadaran, lebih baik perkara ini diselesaikan secara damai
dan kekeluargaan daripada lewat pengadilan (Santoso, 2010).
Faktanya, jarang sekali pemimpin Jawa yang bertikai
dan melanjutkan pertikaian tersebut ke meja hijau, selang beberapa lama
mengakhiri pertikaian tersebut secara ikhlas lewat mediasi. Pertikaian biasanya
berhenti ketika pengadilan telah memutuskan perkara. Kadang-kadang, meskipun
perkara telah diputuskan, pertikaian tersebut tetap saja dilanjutkan, baik itu
dalam bentuk banding atau dalam bentuk pengerahan massa.
f) Berani Berbuat Baik.
Sikap ini tersurat dalam paribasan ”bener ketenger,
becik ketitik, ala ketara”. Paribasan ini mengingatkan bahwa semua
perbuatan akan memperoleh ganjaran yang setimpal. Berbuat baik pada orang lain
pasti akan mendapat balasan baik. Demikian juga perbuatan jelek, pasti akan
menghasilkan dosa dan rasa malu jika ketahuan (Santoso, 2010).
Pada faktanya, karena negara ini demikian bermasalah
dan sukar bagi masyarakat kita untuk membedakan mana orang baik dan mana orang
yang jahat, banyak orang yang semula bermaksud melakukan perbuatan baik semisal
berbuat jujur, menjadi urung niatnya untuk melakukan kejujuran tersebut.
Terkadang, orang yang jujur tidak mendapat penghargaan, malah disingkirkan atau
bahkan dilenyapkan.
g) Bersikap Adil
Sikap ini terdapat pada paribasan ”denta denti
kusuma warsa sarira cakra”. Paribasan ini menggambarkan hakikat atau sifat
asli dari keadilan menurut pandangan orang Jawa. Yang benar tidak dapat
disalahkan, yang salah tidak boleh dibenarkan. Kejahatan bisa saja direkayasa
menjadi kebaikan, tetapi hasilnya hanya bersifat sementara. Cepat atau lambat
wujud kejahatan tersebut akan tampak sebagaimana aslinya. Yang salah kelihatan
salah, yang benar tampak benar (Santoso, 2010).
Sayangnya, banyak orang Jawa di masa kini yang
berusaha bersikap apatis terhadap dengan paribasan ini. Ketika kepentingan
muncul, asalkan ada uang dan kekuasaan, yang benar dapat menjadi salah, yang
salahpun dapat menjadi benar.
h) Bersedia untuk Mengalah
Sikap ini terdapat pada paribasan ”wani ngalah
luhur wekasane”. Paribasan ini merupakan sebuah anjuran agar berani
mengalah, memberikan tempat dan kesempatan pada orang lain sehingga tidak
timbul konflik. Dengan mengalah, seseorang mungkin dapat menemukan hal-hal baru
yang lebih bermanfaat.
Pada fakanya, sangat jarang dewasa ini kita jumpai
pemimpin yang berani untuk mengalah. Mereka biasanya mengalah setelah
pengadilan memutuskan siapa yang menang perkara. Faktor harga dirilah yang
membuat mereka seperti itu.
i) Menjaga Kata-kata
Sikap ini terdapat pada paribasan ”aja ngomong
waton, nanging ngomonga nganggo waton”. Paribasan ini merupakan ajakan untuk
berbicara dengan hati-hati, tidak ”ngawur,” serta tidak melontarkan yang dapat
memicu pertikaian (Subroto&Tofani, –). Isi pembicaraan harus
”berisi,” memiliki landasan kuat serta dapat dipertanggungjawabkan.
Paribasan ini dipakai untuk memberi nasehat pada orang-orang yang suka
menyebarkan kebohongan, menganggap salah hal-hal yang masih samar-samar, dan
menjelek-jelekkan orang lain.
Faktanya, banyak pemimpin politik kita gemar mengumbar
kata. Saling serang melalui media. Menjelek-jelekkan pemimpin lain yang bukan
dari partai atau golongannya sehingga masyarakat menjadi kacau mendengarkan
pertikaian-pertikaian tersebut.
j) Jangan Jumawa dan Merasa Serba Bisa
Sikap ini terdapat pada paribasan ”aja rumangsa
bisa, nanging bisa rumangsa”. Merasa dapat melakukan sesuatu tanpa pikir
panjang dianggap sebagai sebuah sikap yang ceroboh. Merasa dapat berbuat
sesuatu, tidaklah cukup membuktikan bahwa seseorang dapat berbuat sesuatu.
Idealnya, seseorang harus punya pengalaman melakukan sesuatu hal dan berhasil,
baru ia boleh menyatakan dirinya ”bisa” melakukan hal tersebut. Orang-orang
yang merasa bisa melakukan sesuatu kemudian menyatakan bisa melakukan itu dan
berani mengatakan ”bisa”, dapat dikatakan memiliki sifat buruk karena andaikata
orang tersebut dipercaya melakukan sesuatu dan kemudian gagal karena ternyata
ia tidak bisa, maka hal ini akan memalukan dan tentu saja merugikan banyak
pihak.
Sayangnya orang-orang yang tidak gegabah untuk
mengatakan bisa pada setiap amanah, sangat jarang kita jumpai. Apalagi amanah
yang berhubungan dengan memimpin. Jika orang-orang jaman dahulu harus berfikir
keras sebelum menerima sebuah amanah memimpin, orang-orang jaman sekarang akan
langsung mengatakan ”bisa” tanpa berfikir apakah mereka benar-benar mampu
melakukannya. Tidak hanya itu, ada banyak dari kita bahkan dengan sangat rela
mengeluarkan sejumlah uang untuk dapat menjadi pemimpin.
k) Gemar Menyantuni Rakyat
Sikap ini terdapat dalam paribasan ”curiga manjing
warangka, warangka manjing curiga”. Paribasan ini merupakan gambaran dari
sikap ideal hubungan pemimpin dengan bawahan. Sikap ideal ini ditandai dengan
kondisi dimana pemimpin memahami aspirasi bawahan, mengenal dengan baik kondisi
bawahan, dan mau menyantuni mereka dengan baik. Sikap pimpinan yang seperti
inilah yang dapat menyebabkan bawahan bersedia berbakti dengan ikhlas
kepada sang pemimpin tersebut.
Sikap menyantuni rakyat ini jarang ditujukkan oleh
pemimpin kita. Kebanyakan sikap yang ditunjukkan adalah menyantuni parpol,
kepentingan, diri sendiri dan keluarga. Inilah yang di kemudian hari banyak
menyebabkan pemimpin Jawa tersandung masalah hukum.
l) Mencintai Kehidupan yang Rukun
Sikap ini terdapat dalam paribasan ”rukun agawe
santosa, crah agawe bubrah”. Ungkapan ini mengisyaratkan bagaimana
sesungguhnya cita-cita hidup orang Jawa adalah dapat hidup secara damai dan
rukun. Masyarakat Jawa tidak menyukai konflik karena pada dasarnya, konflik
membawa banyak kemudhorotan.
Filsafah ini kontradiktif sekali dengan fakta yang
terjadi di negeri ini. Banyak berita di media massa yang mengekspos
perseteruan-perseteruan para pemimpin Jawa negeri ini dan menciptakan
idiom-idiom baru dalam masyarakat seperti idiom perseteruan ”Cicak dan Budaya”,
”SBY dan Megawati”, ”Partai Koalisi Pemerintah dan Partai Oposisi” dan
lain sebagainya. Idiom-idiom tersebut menunjukkan betapa tidak rukunnya orang
Jawa.
m) Tanpa Pamrih
Sikap ini terdapat dalam paribasan ”sepi ing
pamrih, rame ing gawe”. Paribasan ini menyarankan agar orang Jawa tidak
boleh perhitungan dalam bekerja. Orang Jawa harus mengutamakan kerja keras dan
jangan terlalu berharap pada nilai materi yang didapat dari pekerjaan itu,
karena pada dasarnya semakin serius kita bekerja dengan hasil yang baik,
semakin tinggi pula penghargaan orang terhadap kerjakeras kita. Selain itu,
pamrih dapat mendorong orang untuk menghalalkan segala cara dalam mewujudkan
cita-citanya. Pamrih juga dapat membuat orang menjadi materialistik.
Sayangnya, seseorang yang bekerja tanpa pamrih telah
menjadi barang langka dewasa ini, utamanya dalam birokrasi. Biasanya, para
birokrat akan bekerja dengan semangat dan cepat jika ada imbalan, dan
sebaliknya, akan bekerja ala kadarnya serta sangat lambat jika tidak ada
imbalan.
n) Tidak Tergesa-gesa dalam Mengambil Keputusan
Sikap kepemimpinan yang baik ini terdapat dalam
paribasan ”kebat kliwat, ngangsa marakaka brabala”. Paribasan ini
mengingatkan rakyat Jawa (utamanya yang menjadi pemimpin) untuk tidak
mengerjakan sesuatu dengan cepat namun tanpa kualitas, atau mengerjakan sesuatu
dengan sesegera mungkin karena ingin mendapatkan keuntungan. Orang Jawa harus
menggunakan perhitungan yang matang, sebab tanpa perhitungan yang matang hasil
yang dicapai tidak akan memuaskan, bahkan mengundang mara bahaya (Santoso,
2010).
Sikap ini juga jarang sekali dimiliki pemimpin Jawa
dewasa ini. Yang banyak adalah para pemimpin yang berlomba-lomba untuk sesegera
mungkin menyelesaikan pekerjaan mereka demi memburu upah, tanpa memikirkan
kualitas dan manfaat dari pekerjaan yang telah dilakukannya. Terkadang, mereka
seringkali cepat-cepatan memutuskan perkara tanpa berpikir panjang. Ini semua
terjadi karena sebenarnya mereka telah menerima ”amplop” dari salah satu pihak
yang berperkara.
c. Gagalkah Kepemimpinan Jawa di Indonesia?
Seringnya orang Jawa memimpin bangsa Indonesia dengan
kualitas pemerintahan yang kurang, menyebabkan beberapa bagian masyarakat
(utamanya masyarakat yang nonJawa) menganggap gaya kepemimpinan Jawa gagal
membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Bagian masyarakat ini juga
menganggap, selama kepemimpinan Jawa, Indonesia tidak pernah keluar dari
masalah kemiskinan, pengangguran, kekacauan, korupsi, kolusi dan nepotisme.
Konsep kepemimpinan titisan dewa dari orang Jawa yang antikritik, merasa benar
sendiri dan merasa sebagai sumber kebenaran, dianggap sebagai penyebab
munculnya sebuah kondisi dimana kelompok elit, pemimpin beserta kroninya berada
di puncak kekuasaan dengan berbagai fasilitas yang mewah, sementara rakyat
jelata berada di bawah dalam kondisi yang mengenaskan. Selain itu, gaya
kepemimpinan Jawa yang elitis serta hanya terpaku pada satu lingkaran kekuatan,
dianggap tidak beritikad baik pada rakyat karena selalu berusaha agar rakyat
berada di bawah dan selamanya tetap di bawah. Dengan kondisi rakyat yang merana
ini, rakyat akan selalu memerlukan lingkaran pimpinan mereka tersebut (http://politik.kompasiana.com).
Kritik dari masyarakat nonJawa terhadap gaya
kepemimpinan Jawa juga menyebut bahwa falsafah gajah mada nampaknya terlalu
dipuja rakyat Jawa sehingga akan selalu menguntungkan pemimpin Jawa yang
mendapatkan sokongan dari rakyat Jawa yang jumlahnya memang besar. Rakyat Jawa
juga tidak perduli walaupun pemimpin tersebut seorang yang gagal. Yang penting
mereka orang Jawa, tak perduli ratusan juta rakyat akan menderita karena salah
dalam memilih pemimpin-pemimpin yang tidak ideal (http://politik.kompasiana.com).
Kritik-kritik yang muncul di atas terhadap gaya kepemimpinan
Jawa pada akhirnya mengerucut menjadi sebuah simpulan yang menyatakan bahwa
gaya kepemimpinan Jawa telah gagal membangun negeri ini. Ini mungkin sebuah
pernyataan apriori tertinggi untuk ditanggapi masyarakat Jawa berkaitan dengan
gaya kepemimpinan mereka. Dalam konteks humaniora, ini jelas sangat menarik
untuk didiskusikan.
Artikel ini ditulis tidak untuk mendukung atau
menentang kritik-kritik yang muncul terhadap gaya kepemimpinan Jaya. Butuh
studi yang demikian panjang untuk dapat menyelipkan sebuah simpulan dalam
artikel ini yang dengan jelasnya menyatakan bahwa gaya kepemimpinan Jawa gagal
atau sebaliknya sukses diterapkan di Republik ini. Banyak hal yang perlu
dipertimbangkan dan dikaji untuk dapat sampai pada simpulan tersebut.
Artikel ini hanya dapat memberikan sebuah hipotesis
bahwa pada dasarnya, seburuk apapun gaya kepemimpinan sebuah suku, yang salah
sebenarnya adalah individu suku tersebut, bukan falsafah kepemimpinannya. Tidak
ada satupun falsafah kepemimpinan sebuah suku di Nusantara ini yang mengajarkan
untuk menjadi pemimpin yang buruk. Semua falsafah kepemimpinan mengajarkan
kebaikan. Hanya saja, dalam beberapa kasus, beberapa gelintir pemimpin yang
berasal dari sebuah suku bangsa dijumpai melenceng dari jalan lurus falsafah
kepemimpinannya. Karena pemimpin-pemimpin yang buruk ini muncul sebagai
representasi suku bangsanya untuk kemudian menjadi pemimpin dari gabungan
suku-suku bangsa yang ada di Nusantara, akhirnya keburukan individual pemimpin
ini digeneralisasikan menjadi keburukan komunal. Suku bangsa yang
direpresentasikan, beserta falsafah kepemimpinan yang dianutnyapun ikut pula
mendapat predikat buruk. Padahal belum tentu demikian.
Sebagai contoh, karena fokus artikel ini adalah
kepemimpinan Jawa, dan pada beberapa poin di atas dinyatakan bahwa kepemimpinan
Jawa adalah buruk, maka kita tidak dapat menyatakan bahwa falsafah kepemimpinan
Jawapun ikut buruk. Yang salah adalah individu penganut falsafah tersebut
karena bisa jadi meskipun ia orang Jawa, ia tidak mengamalkan falsafah-falsafah
tersebut, dan andaikata ia mengamalkan, ia mungkin mengamalkannya
sepotong-sepotong atau dengan amalan yang penuh penyimpangan. Kita dapat
melihat beberapa contoh tidak diamalkannya falsafah kepemimpinan Jawa (tentu
saja dalam paribasan) pada beberapa kasus faktual kepemimpinan nasional
berikut.
Keberpihakan Soekarno pada komunis telah menyebabkan
hilangnya nyawa sekitar 1 juta nyawa anak bangsa secara sia-sia. Ia dapat
dibilang gagal dalam perbaikan ekonomi, menciptakan lapangan pekerjaan, kesejahteraan
rakyat dan keamanan karena terlalu fokus pada politik yang terlalu mengarah ke
kiri. Ia tidak adil dalam berpihak. Dalam hal ini, Sukarno mungkin dapat
dikatakan telah melupakan falsafah denta denti kusuma warsa sarira cakra.
Sukarno juga memerangi dan membunuh para pengkritik (PRRI, Dewan Banteng,
Natsir, Hamka dll.), dan bekerjasama dengan pihak yang merongrong negara
(PKI) padahal yang jelas-jelas merongrong adalah PKI (http://politik.kompasiana.com). Pemutarbalikan kenyataan tentang
mana pihak yang buruk dan mana pihak yang baik oleh Sukarno sesuai
dengan paribasan kunthul diunekaku dhandhang, dhandhang diunekake kuntul.
Keengganan Soeharto untuk memerangi musuh bangsa yang
sebenarnya yaitu KKN, telah menjadikan bangsa dan negara ini menjadi miskin.
Soeharto hanya tegas terhadap musuh-musuh politiknya. Ia ditengarai melenyapkan
para pengkritiknya dengan cara menjadikan mereka narapidana politik atau dengan
cara-cara lainnya. Ia juga diyakini oleh banyak berupaya melanggengkan
kekuasaan di negeri dengan cara menyapu bersih orang-orang yang berani
menentangnya. Ini cenderung identik dengan situasi melik ngendhong lali.
Ia juga oleh sebagian besar masyarakat gagal dalam perbaikan ekonomi, serta
gagal dalam menyantuni rakyat. Dalam konteks ini, nyata sekali ia tidak
menerapkan paribasan curiga manjing warangka, warangka manjing curiga.
Keragu-raguan Gusdur secara tidak langsung dianggap
telah menyebabkan kematian ratusan umat Islam di Poso. Gusdur tegas dalam
melindungi kaum minoritas namun di lain pihak menzalimi hak-hak golongan
mayoritas. Gusdur dikenal tidak suka diritik, merasa benar sendiri dan merasa
sebagai sumber kebenaran (http://politik.kompasiana.com). Hal yang paling menonjol dari Gusdur adalah
seringnya ia mengeluarkan pernyataan yang kadang membingungkan seperti: anggota
DPR bagaikan kumpulan anak-anak TK, Assalamu’alaikum boleh diganti
dengan selamat pagi, dan pernyataan kontroversial lainnya. Terlepas benar atau
tidaknya pernyataan tersebut dilontarkan Gusdur, kegemarannya membuat
pernyataan provokatif jelas bertentangan dengan paribasan aja ngomong waton,
nanging ngomonga nganggo waton. Selain hal di atas, Gusdur juga
dikenal cepat dalam memutuskan masalah tanpa berpikir dengan cermat. Ini dapat
dilihat dari usahanya untuk membekukan DPR yang pada akhirnya menurunkan Gusdur
dari kursi kepresidenan. Keengganan Gusdur berpikir matang tidak sejalan dengan
paribasan kebat kliwat, ngangsa marakaka brabala.
Kelalaian Megawati telah membuat BUMN dijual kepada
asing dengan harga dan waktu yang tidak transparan. Ia juga dinilai tidak
terlalu berhasil untuk memperbaiki ekonomi, menciptakan lapangan pekerjaan,
mensejahterakan rakyat dan meningkatkan keamanan. (http://politik.kompasiana.com). Hal yang paling mencolok dari
Megawati adalah keengganannya untuk mengakui kekalahannya dalam Pemilu oleh
mantan bawahannya yaitu SBY. Inilah yang mengakibatkan Megawati dilabeli kesan
minus karena secara kualitas tidak memiliki sifat wani ngalah luhur
wekasane.
Keragu-raguan dan kelambanan SBY membuat kasus buaya
vs cicak yang mengungkap berbagai kebobrokan di tanah air menjadi bertele-tele.
Demikian pula kasus Century, BLBI, kriminalisasi KPK, kasus mafia pajak dan
sebagainya. SBY tahu, jika ia secara terang-terangan bersikap tegas pada para
koruptor dan kriminal lainnya, akan banyak lawan politik yang berusaha
melawannya. SBY tidak berani bersikap bener ketenger, becik ketitik, ala
ketara karena terlalu memikirkan akan image dan posisinya di masa
depan.
C. Simpulan dan Saran
Suku Jawa adalah suku yang besar. Dari suku ini
seringkali lahir para pemimpin besar baik itu dimasa lalu, kini dan mungkin di
masa yang akan datang. Suku ini ini dibimbing oleh budaya Jawa yang agung dan
memiliki banyak sekali falsafah kepemimpinan yanag agung pula. Salah satunya
falsafah kepemimpinan aksiomal dalam paribasan Jawa.
Paribasan tidak hanya mampu memberikan gambaran
tentang jati diri masyarakat Jawa, tentang simbol-simbol sosial yang mereka
anut dalam beraktifitas falsafah-falsafah kebatinan, tapi juga tentang
konsep-konsep kepemimpinan. Sayangnya, faktor keterbatasan pemahaman masyarakat
Jawa terhadap paribasan, menjadikan hasil budaya ini menjadi kurang bermakna.
Ia seringkali ditempatkan hanya sebagai pernak-pernik budaya yang tidak
memiliki peran signifikan dalam membangun masyarakat utamanya dalam kehidupan
berpolitik. Akibatnya, ketika masyarakat Jawa mendapatkan kesempatan untuk
memimpin, banyak diantara mereka menjadi salah arah dan akhirnya tersesat. Jika
masyarakat Jawa yang diberi amanah untuk memimpin, kembali menengok akar budaya
mereka salah satunya dengan berusaha meresapi makna-makna di balik aksioma paribasan,
niscaya, perilaku mereka akan terjaga dan krisis kepemimpinan yang terjadi pada
bangsa ini akan berakhir. Kita tidak akan lagi mendapatkan pemimpin yang pinter
nanging keblinger atau pemimpin yang lali marang asale di masa yang
akan datang.
Referensi
Hartatik, et.al. 2001. Sari-sari piwulangan Basa Jawi
Pepak. Surabaya: CV. Pustaka Agung Harapan
Kompas edisi Sabtu, 16 Agustus 2008
Moeljono, Djokosusanto. 2008. More About Beyond
Leadership. Jakarta: Elex Media Komputindo
Purwadi. 2009. Sejarah Sastra Jawa Klasik.
Yogyakarta: Panji Pustaka
Purwadi. 2010. Sejarah Asal-Usul Nenek Moyang Orang
Jawa. Yogyakarta: Panji Pustaka
Santoso, Imam Budhi. 2010. Nasihat Hidup Orang Jawa.
Yogyakarta: Diva Press
Sumarlam. 2006. ”Struktur dan Makna Hubungan
Antarunsur dalam Paribasan” dalam jurnal Linguistika Jawa Tahun ke-2,
No. 1, Februari 2006.
Subroto, Suro & Tofani, Abi. –. Mumpuni Basa
Jawi Pepak. Surabaya: CV. Pustaka Agung Harapan